Ads

Minggu, 29 Juni 2025

"Pelukan di Kaki Gunung Salak"

 "Pelukan di Kaki Gunung Salak"

Di sebuah desa sejuk di kaki Gunung Salak, tinggalah keluarga sederhana yang selalu terdengar riuh—kadang oleh tawa, kadang oleh cekcok kecil yang segera berubah jadi candaan.

Keluarga itu terdiri dari Ayah, Ibu, dua kakak, satu adik, dan Ummah—anak ketiga yang jadi tokoh utama kita kali ini. Ummah adalah gadis berusia 14 tahun, agak pendiam, tapi punya hati selembut awan yang menggantung di atas gunung Salak.

Suatu sore, suara dari dapur terdengar ramai.

Kak Tika (sambil cuci piring):
“Ini gelas siapa sih, ditaruh sembarangan? πŸ™„”

Kak Arfan (leyeh-leyeh di ruang tamu):
“Gelasnya Ummah kayaknya... tuh, dia kabur habis minum teh πŸ˜‚”

Ummah (dari teras):
“Hah? Bukan Ummah, itu gelas Kak Arfan! Ummah tadi minum pakai cangkir yang ada bunga-bunganya 🌸”

Kak Arfan:
“Waduh... ketahuan deh... Maaf, Kak Tika... jangan siram aku pakai sabun yaa πŸ˜…”

Adik Deno (ikut nimbrung sambil bawa mainan):
“Kalau siram, pakai air kolam aja biar sekalian berenang! 🐟”

Ibu muncul dari dalam kamar sambil tertawa kecil. Ayah masih di kebun belakang, tapi suaranya kadang terdengar bersenandung.

Ibu:
“Udahlah... gelas bisa dicuci. Tapi hati yang kesal jangan disimpan lama-lama ya 😊”

Ummah:
“Iya, Bu. Tapi Kak Arfan tuh suka ngambek kalo disuruh cuci piring... πŸ™ƒ”

Kak Arfan (nyengir):
“Aku tuh bukan ngambek, cuma menyalurkan bakat. Bakat rebahan πŸ›‹️”

Tak lama kemudian, Ayah masuk dengan baju penuh tanah.

Ayah:
“Ada yang mau bantu Ayah nanam pohon cabai sore ini?”

Semua anak (kompak):
“Ummah ajaaa! πŸ˜†”

Ummah (protes sambil tertawa):
“Ihhh! Kalian tegaaa! Tapi... yaudah deh, asal nanti gantian yaa πŸ˜„”

Sore itu, Ummah ikut Ayah ke kebun kecil di belakang rumah. Angin gunung sejuk menyapa lembut.

Ayah:
“Ummah, kamu anak yang hebat. Kadang kita ribut, kadang beda pendapat... Tapi Ayah senang kamu tetap sayang sama keluarga.”

Ummah (tersenyum sambil mencangkul kecil):
“Ummah juga belajar, Yah... walau beda-beda, kita tetap satu rumah. Tetap keluarga πŸ’•”

Ayah:
“Betul. Kadang... menghargai orang itu dimulai dari yang paling dekat. Dari meja makan yang sama. Dari gelas teh yang salah taruh. Dari canda-canda kecil seperti tadi.”

Ummah:
“Kalau semua saling ngerti... rumah itu jadi tempat paling hangat ya, Yah?”

Ayah (mengangguk, tersenyum):
“Iya, tempat paling nyaman. Meski kadang ribut, asal hatinya tetap saling merangkul, itu namanya rumah.”

Matahari pun mulai turun di balik Gunung Salak. Dari dapur, Ibu memanggil,

Ibu:
“Nasi udah mateng! Yang mau makan, cuci tangan dulu yaa!”

Dan satu per satu mereka masuk, saling menyindir, saling tertawa, dan tetap—selalu pulang ke meja makan yang sama.

Karena keluarga bukan soal siapa paling benar. Tapi siapa yang paling mau mengalah dan menghargai. 🀍

Tidak ada komentar:

Posting Komentar