Zea, Gadis Pemilik Langit
Di sudut desa, Zea menatap mentari
Membawa mimpi setinggi awan putih
Meski langkahnya terseok tiap hari
Ia tak gentar, walau hidupnya letih
Buku-buku tua jadi sahabat setia
Dibacanya di bawah lampu redup malam
“Kelak aku akan mengubah dunia,” katanya
Meski kenyataan masih bungkam dan kelam
Sepatu bolong tak mengikis semangat
Ia menulis puisi di balik lembar usang
Katanya, “Mimpi bukan soal cepat atau lambat,
Tapi tentang siapa yang tetap melangkah panjang.”
Orang berkata, “Zea, turunkan mimpimu sedikit,”
Namun ia tersenyum, memandang langit biru
“Aku takkan berhenti walau jalanku sempit,”
Karena harapan selalu punya pintu.”
Aku ada untuk masa depanku dan cita-citaku
Meski harus merangkak, aku tetap berjuang
Sehingga suatu saat nanti waktu kan memberitahuku
Inilah saatnya kamu berkata "Aku Menang"
Ads
Minggu, 29 Juni 2025
Zea, Gadis Pemilik Langit
"Pelukan di Kaki Gunung Salak"
"Pelukan di Kaki Gunung Salak"
Di sebuah desa sejuk di kaki Gunung Salak, tinggalah keluarga sederhana yang selalu terdengar riuh—kadang oleh tawa, kadang oleh cekcok kecil yang segera berubah jadi candaan.
Keluarga itu terdiri dari Ayah, Ibu, dua kakak, satu adik, dan Ummah—anak ketiga yang jadi tokoh utama kita kali ini. Ummah adalah gadis berusia 14 tahun, agak pendiam, tapi punya hati selembut awan yang menggantung di atas gunung Salak.
Suatu sore, suara dari dapur terdengar ramai.
Kak Tika (sambil cuci piring):
“Ini gelas siapa sih, ditaruh sembarangan? 🙄”
Kak Arfan (leyeh-leyeh di ruang tamu):
“Gelasnya Ummah kayaknya... tuh, dia kabur habis minum teh 😂”
Ummah (dari teras):
“Hah? Bukan Ummah, itu gelas Kak Arfan! Ummah tadi minum pakai cangkir yang ada bunga-bunganya 🌸”
Kak Arfan:
“Waduh... ketahuan deh... Maaf, Kak Tika... jangan siram aku pakai sabun yaa 😅”
Adik Deno (ikut nimbrung sambil bawa mainan):
“Kalau siram, pakai air kolam aja biar sekalian berenang! 🐟”
Ibu muncul dari dalam kamar sambil tertawa kecil. Ayah masih di kebun belakang, tapi suaranya kadang terdengar bersenandung.
Ibu:
“Udahlah... gelas bisa dicuci. Tapi hati yang kesal jangan disimpan lama-lama ya 😊”
Ummah:
“Iya, Bu. Tapi Kak Arfan tuh suka ngambek kalo disuruh cuci piring... 🙃”
Kak Arfan (nyengir):
“Aku tuh bukan ngambek, cuma menyalurkan bakat. Bakat rebahan 🛋️”
Tak lama kemudian, Ayah masuk dengan baju penuh tanah.
Ayah:
“Ada yang mau bantu Ayah nanam pohon cabai sore ini?”
Semua anak (kompak):
“Ummah ajaaa! 😆”
Ummah (protes sambil tertawa):
“Ihhh! Kalian tegaaa! Tapi... yaudah deh, asal nanti gantian yaa 😄”
Sore itu, Ummah ikut Ayah ke kebun kecil di belakang rumah. Angin gunung sejuk menyapa lembut.
Ayah:
“Ummah, kamu anak yang hebat. Kadang kita ribut, kadang beda pendapat... Tapi Ayah senang kamu tetap sayang sama keluarga.”
Ummah (tersenyum sambil mencangkul kecil):
“Ummah juga belajar, Yah... walau beda-beda, kita tetap satu rumah. Tetap keluarga 💕”
Ayah:
“Betul. Kadang... menghargai orang itu dimulai dari yang paling dekat. Dari meja makan yang sama. Dari gelas teh yang salah taruh. Dari canda-canda kecil seperti tadi.”
Ummah:
“Kalau semua saling ngerti... rumah itu jadi tempat paling hangat ya, Yah?”
Ayah (mengangguk, tersenyum):
“Iya, tempat paling nyaman. Meski kadang ribut, asal hatinya tetap saling merangkul, itu namanya rumah.”
Matahari pun mulai turun di balik Gunung Salak. Dari dapur, Ibu memanggil,
Ibu:
“Nasi udah mateng! Yang mau makan, cuci tangan dulu yaa!”
Dan satu per satu mereka masuk, saling menyindir, saling tertawa, dan tetap—selalu pulang ke meja makan yang sama.
Karena keluarga bukan soal siapa paling benar. Tapi siapa yang paling mau mengalah dan menghargai. 🤍
"Kakak Jail, Adik Manja"
"Kakak Jail, Adik Manja"
Di pojok kampung yang asri di Bogor Barat, tinggallah dua kakak beradik yang selalu berhasil membuat satu rumah penuh tawa: Winata dan Yai. Winata, sang kakak, dikenal sebagai biangnya keisengan. Tapi jangan salah sangka, dia bukan tipe kakak yang menyebalkan. Ia justru sangat sayang pada adiknya, meski bentuk sayangnya sering kali muncul dalam bentuk kejahilan yang aneh-aneh. 😍🥰😘
Yai, adik yang manja 🤭 dan lembut hatinya, sebenarnya korban tetap dari tingkah jail kakaknya. Tapi anehnya, dia selalu saja tertawa di akhir cerita atau minimal ngambek sebentar lalu dibujuk kakaknya pakai candaan receh.
Suatu pagi, Winata mengantar Yai ke sekolah seperti biasa. Tapi tentu saja perjalanan bukan sekadar antar-jemput biasa.
“Yai, tadi malam aku mimpi kamu jadi kambing. Tapi bukan kambing biasa, kamu kambing yang bisa nyanyi dangdut!” ujar Winata sambil menirukan suara kambing bernyanyi.
Yai yang masih setengah ngantuk langsung meledak tertawa, “Ya ampun, Kak! Bisa bisanya!”
Belum cukup puas, Winata berhenti sejenak di warung depan sekolah dan berkata pada ibu warung, “Bu, ini pacarku, manja banget ya...”
Ibu warung langsung menoleh dan tersenyum geli, “Waduh, akur banget ya pacaran pagi-pagi begini!”
Dengan senyum jahil, mereka menjawab serempak,
“Bu... kami bukan pacaran, kami satu ayah satu ibu, alias kakak adik, heheh!”
Ibu warung sampai terpingkal, “Yaa ampun, bener-bener! Pantes kompak banget!”
Setiap hari mereka memang seperti itu. Kadang Yai nangis karena dijahili pernah suatu waktu, Winata menggambar kumis di wajah Yai saat tidur siang. Tapi setelah itu, Winata menebusnya dengan membuat boneka dari sendok dan mie instan, menamainya “Pak Kumis”, dan membuat pertunjukan teater kecil yang bikin Yai tertawa sampai lupa nangisnya.
Di rumah, Ayah dan Ibu sering menjadi penonton tetap tingkah lucu mereka. Kadang sedang serius makan, tiba-tiba Winata meletakkan tahu goreng di atas kepala Yai dan berkata, “Ini topi raja tahu, siapa berani melawan?”
Yai pun berdiri tegak, membalas, “Raja tahu siap menguasai dapur!”
Dan meledaklah tawa seisi rumah.
Berkat kasih sayang dan didikan hangat dari Ayah dan Ibu, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tak hanya lucu, tapi juga penuh cinta dan rasa hormat. Di balik semua candaan dan kejahilan, mereka saling menjaga dan menyayangi, lebih dari apapun.
Karena di kampung kecil itu, tawa mereka adalah musik harian, dan kasih sayang mereka adalah pelajaran kehidupan.
Untuk Ashita
😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀